Kata
dan makna dalam pandangan Ushul Fiqh
Pada dasarnya, makna suatu kata merupakan bagian dari pengetahuan seseorang
dari makna. Lee mengemukakan bahwa manusia hidup dalam dua macam dunia yang
tidak boleh dicampuradukan satu sama lain,
yaitu dunia kata dan dunia non kata. Dunia kata merupakan kempulan
simbol yang mencerminkan reaksi dan respon manusia atas realitas itu sendiri.
Terdapat beberapa teori yang
disodorkan para pakar linguistik sekaitan dengan penanganan masalah makna kata.
Pertama, teori referen yang diusung Russel. Teori ini menyebutkan bahwa sebuah
kata memiliki makna lantaran rujukannnya pada objek atau keadaan yang
digambarkan oleh kata tersebut. Dalam hal ini sebuah kata berupa objek atau
keadaan yang direfer dari kata tersebut. Seperti kata pintu misalnya merefer
pada benda yang terbuat dari kayu, besi, kaca, yang dipakai untuk keluar masuk
dari suatu ruangan. Selain itu, tidak jarang pula sebuah kata mempunyai lebih
dari satu referen.
Kedua teori ideasional yang dikemukakan oleh John Locke. Teori ini
menyebutkan bahwa sebuah kata sesungguhnya tidak merever pada objek tertentu,
tetapi pada ide atau konsep tentang objek tersebut. Dalam hal ini makna
disertakan pada kata. Makna sendiri muncul dalam minda seseorang berupa
gagasan. Ide bersifat laten. Ia baru lahir ketika manakala ditempelkan atau
disertakan pada kata. Dengan teori ini, kita tetap akan menyebut kucing
kendatipun hanya memiliki tiga kaki. Teori ideasional ini bukan berarti tanpa
kelemahan, sebab dari waktu ke waktu makna suatu kata bisa mengalami perubahan.
Selain itu, makna suatu kata juga sering kali bersifat personal dan sangat
situasional.
Ketiga, teori fitur yang menyatakan bahwa konsep terwujud dari
sejumlah unit yang kecil. Unit-unit yang kecil kemudian dinamakan fitur (ciri).
Konsep singa umpamanya, terdiri dari sejumlah fitur, antara lain pemakan
daging, berkaki empat, bertelinga dua, bermulut satu, berhidung satu, dan
seterusnya. Teori ini juga masih menyisakan masalah. Persoalan muncul karena
dunia ini tidak simplistis. Kenyataannya tidak jarang ada binatang yang
kehilangan fitur tertentu karena kelaian genetis misalnya. Apakah kucing yang
berkaki lima tidak bisa disebut kucing ?
Adapun menurut konstektualisme psikologis, konteks-konteks tertentu
melahirkan keterkaitan antara fitur-fitur dari suatu konsep dan konsep-konsep
lain dalam suatu kategori. Dalam permainan catur, misalnya, kita bisa mengganti
sebuah pion dengan sebuah kancing. Kancing sendiri tidak mempunyai fitur dalam
, tetapi dalam konteks tadi kancing jadi memilikinya.
Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa untuk memahami struktur
konseptual diperlukan pemahaman lebih dari sekedar konsep semata. Diperlukan
pemahaman lebih dari sekedar konsep semata. Dipengetahuan lain untuk memahami
relasi antar konsep dan bagaimana konsep-konsep tersebut tertata sedemikian
rupa. Dalam hal ini, senarai fitur tidak cukup merepresentasikan suatu konsep
secara utuh.[1]
Teks Al-Qur’an dan As-Sunnah menggunakan bahasa Arab. Hukum diambil
dari teks tersebut dapat dipahami secara benar jika memperhatikan tuntunan tata
bahasa, cara pengambilan makna yang ditunjuk
oleh kata atau susunan kalimat dalam bahasa arab. Demi kepentingan isntintaj
al-ahkam (pengambilan hukum), ulama ushul fiqh sangat memperhatikan masalah
kata dan maknanya.
Dengan demikian menurut ulama’ ushul fiqh, ada beberapa cara yang
ditempuh untuk memahami makna yaitu:
1. Dalalah mantuk (sigen operatif)
Yaitu suatu yang ditunjukan oleh lafal pada saat diucapkan, yakni
bahwa penunjukan makna berdasarkan materi huruf-huruf yang terucap. Dalalah
mantuk di klasifikasikan sebagai berikut:
a)
Nash
Nash adalah lafal yang bentuknya sendiri, yang dapat
menunjukan makna yang dimaksud secara tegas (sharih), tidak mengandung
kemungkinan lain misalnya, firman Allah SWT:
“Maka (wajib) berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari
ketika kamu kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna.” [2]
Pernyataan kata ”sepuluh” dengan kata “sempuna” telah
mematahkan kemungkinan “sepuluh” secara majas, inilah yang dimaksud
dengan nash. Contoh lain : “aku melihat zaid” signifikasi disini
kata zaid adalah zaid tidak mungkin selain zaid.
b)
Dhohir
Dhohir yaitu lafal
yang menunjukan suatu makna yang segera di fahami ketika diucapkan, tetapi
disertai kemungkinan makna lain. Namun yang satu lebih signifikan dari makna
lain. Misalnya, “aku melihat singa.” Signifikasi kata “singa”
disini berarti “hewan buas” secara hakiki, namun bisa juga ada
kemungkinan diartikan secara majasi, yaitu : “seorang pemberani seperti singa”.
Hanya saja, signifikasi yang lebih jelas dari kata tersebut adalah makna hakiki
(singa) dari pada makna majasi (pemberani). Makna “singa” (hakiki)
yag dinilai lebih jelas ini dan terpilih ini disebut rajin, sedangkan makna
“pemberani” (majasi) yang diabaikan karena kurang jelas dalam ucapan
tersurat disebut “marjuh”.
c)
Muawwal
Muawwal yaitu makna
yang justru diartikan dengan makna marjuh, karena tidak mungkin
mengambil makna rajih. Jadi, makna majasi yang kurang jelas dalam
ucapan, justru yang dipilih berdasarkan interpretasi (takwil) terhadap
makna tersurat yang dhohir dalam ucapan. Misalnya, “langit dan bumi ditangan
Allah”. Kata “tangan” disini, tidak bisa diartika secra khakiki (anggota
tubuh) walaupun ini makna yang sifatnya rajih, sebab hal itu tidak logis
diterapkan pada zad Allah. Kata “tangan” harus di takwil ke makna
“kekuasaan”.
d)
Iqtida’
Yaitu keshohihan (faliditas) signifikasi sebuah lafal
tergantung pada makna yang tidak disebutkan dalam teks. Inilah yang disebut
dalalah iqtida’. Misalnya, dalm firman Allah SWT.
"فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيْضًا اَوْ عَلَى سَفَرِ
فَعِدَّةٌ مِنْ اَيَّامِ أُخَرُ"
“ Maka
jika di antara kalian ada yag sakit dalam perjalanan maka ia wajib
berpuasa atau mengqodho’ nya sebanyak hari-hari yang
ditinggalkan pada hari-hari yang lain”.
Ayat ini memerlukan suatu lafal yang tidak
disebutkan, yaitu: فأفطر (lalu ia berbuka puasa) yang diletakkan
setelah kata سفر (perjalanan), sebab kewajiban qodho’ puasa bagi musafir hanya
apabila ia berbuka dalam perjalanannya itu. Sedang jika ia tetap berpuasa, maka
tidak ada baginya kewajiban qodho’ karena ia tidak membatalkannya.
Penunjukan terhadap sesuatu yang tidak terdapat didala teks atau lafal yang
terucap, tetapi ia sebenarnya lazim ada di dalamnya. Disebut I’tida’.
e) Isyarat
Isyarat yaitu signifikasi sebuah lafal
tergantung pada makna yang pada dasarnya tidak dimasukkan dalam teks. Misalnya,
firman Allah SWT:
حَمَلَتْهُ أَمُّهُ
كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُوْنَ شَهْرًا
“ kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat
baik kepada ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan bersusah payah dan
melahirkannya dengan susah payah pula”. Mengandungnya sampai menyapihnya adalah
30 bulan”.[3]
Ayat diatas, selain menjelaskan tentang
susah payah seorang ibu pada saat hamil dan menyapih anaknya, sebenarnya
mengisyaratkan sebuah makna atau pengertian, bahwa masa hamil seorang ibu
adalah 6 bulan. Pengertian bisa dipahami dengan adanya ayat-ayat yang lain:
(masa menyapihnya selama 2 tahun). Jadi, penyebutan 30 bulan sejak mengandung
hingga menyapih, jika dikira-kira masa menyapih selama 2 tahun atau 24 bulan,
maka kesimpulanya masa hamilnya saja minimal selama 6 bulan. Penunjukan lafal
pada masa hamil minimal 6 bulan ini memang tidak terdapat pada kedua ayat di
atas, tetapi makna itu bias dipahami melalui kalkulasi isyarat 2 ayat tersebut.
2. Dilalah mafhum(sign concept)
Mafhum adalah makna yang di tunjukkan oleh makna,
tidak berdasarkan pada bunyi ucapan(makna tersurat). Mafhum ada dua macam:
1) Mafhum muwafaqoh(konsep approval) adalah makna yang hukumnya
sesuai dengan mantuk(terucap). Mafhum ini dibedakan menjadi 2 bagian:
a) Fahwal khitab(concept of the speech).
yaitu makan yang dipahami itu lebih utama
di ambil hukumnya dari pada mantuknya. Misalnya: keharaman mencacimaki dan
memukul orang tua yang dipahami dari firman allah SWT. Maka sekali-kali kamu
jangan lah mengatakan keduanya perkataa “ah”.[4]
Mantuk ayat ini adalah haramnya mengatakan “ah”, oleh sebab itu keharaman
mencacimaki dan memukul lebih pantas di ambil karena keduanya dinilai lebih
berat.
b) Lahnul kitab(lyrical speech).
Yaitu apabila hukum mafhum sama nilainya
dengan huku mantuk. Misalnya: firman Allah SWT” sesungguhnya orang-orang
yang memaka harta anak yatim, sebenarnya mereka itu menelan api kedalam
perutnya.(An-Nisa’ : 10).
Ayat ini menunjukkan pula keharaman merusak
dan membakar harta anak yatim atau
menyia-nyiakannya. Petunjukan makna ini disebut lahnul khitab. Karena ia sama
nilainya dengan memakannya sampai habis.
Kedua mafhum diatas termasuk mafhum
muwafaqoh, karena makna yang tidak disebutkan (makna tersirat) sesuai dengan
hukum yang di ucapkan(mantuk/makna tersurat). Meskipun hokum itu memiliki nilai
tambah pada fahwal khitab dan nilai sama
pada lahnul khitab.
2) Mafhum mukholafah
Yaitu makna yang berbeda hukumnya dengan
mantuk(makna yg tersirat yang bersifat kebalikan). Mafhum ini dibedakan menjadi
empat macam:
a) Mafhum sifat(dengan kata sifat)
Misalnya, firman Allah SWT:” Hai
orang-orang yang beriman, jika orang fasik membawa berita, maka periksalah
denga teliti..”(QS. Al- Hujurat : 06). Mafhum mukhalafah atau makna kebalikan
dari kata sifat’fasik’ pada ayat ini bahwa orang yang tidak fasik tidak wajib
di teliti beritanya. Contoh lain firman Allah SWT. “ Maka deralah mereka(yang
menuduh zina itu) delapan puluh kali dera..”(QS. An-Nur : 04). Mafhumnya ialah:
mereka tidak boleh di dera kurang atau lebih dari delapan puluh kali.
b) Mafhum syarat(dengan huruf syarat)
Misalnya, Firman Allah SWT.” Dan jika
mereka(Istri-istri yang di talak) it sedang hamil, maka berikanlah mereka
nafkahnya.(QS. Al-Thalaq : 06). Makna atau mafhumnya ialah istri yang di cerai
tetapi tidak sedang hamil, tidak wajib di beri nafkah.
c) Mafhum Ghayah(Dengan batas maksimal)
Misalnya, firman Allah,” kemudian jika
suami mentalaknya(sesudah talak kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi
baginya hingga kawin dengan suami yang lain…”.[5]
Mafhumnya ialah, istri tersebut halal bagi suami pertama sesudah ia nikah
dengan suami yang lain, dengan memenuhi syarat pernikahan.
d) Mafhum Hashr(dengan pembatasan)
Misalnya firman Allah SWT:” Hanya Engkaulah
yang kami sembah dan hanya Engkaulah kami memohon pertolongan”(QS.Al-Fatihah :
05). Mafhumnya ialah bahwa selain Allah tidak disembah dan tidak dimintai
pertolongan.
Manthuq dan mafhum, dalah kajian Ushul Fiqh
di atas bertujuan menyikapi makna yang dilihat dari aspek penutur. Dalam
memahami makna tersurat dan tersirat, kata/kalimat baik berupa ujaran atau teks
bias mudah dipahami, dianalisis dan ditemukan maksud hokum yang dibawa oleh
pesan ujaran/teks tersebut.
Sedangkan kata yang dilihat dari aspek
cakupan makna yang dipergunakan oleh kata, dibedakan menjadi dua yaitu makna
khusus dan makna umum.
3. Kata Umum (‘Aam)
Yaitu kata yang cakupan maknanya bersifat
umum, merata, tidak terbatas. Bentuk kata umum dalam bahasa arab ada tiga macam, yaitu:
a.
Bentuk
Isim Mufrad(kata benda tunggal)
Misalnya:
Firman Allah SWT “Dia telah menciptakan manusia dari mani, kemudia ia
menjadi pembantah yang nyata”.(QS. An-Nahl : 04).
Kata”
manusia” ini bersifat umum, ia mengenai semua manusia, melainkan yang
diperkecualikan.
b.
Isim
Jama’(Plular) dengan artikel “AL”
Misalnya,
firman Allah SWT ‘Bunuhlah orang-orang musyrik(Al-Musyikiin).(QS.Al-Taubah
: 36). Bentuk jama’(Al-Musyikiin) dalam ayat ini bersifat umum dan meencakup
semua orang yang berbuat syirik.
c.
Isim
Mubhan
Yaitu
isim-isim(kata benda) yang tidak menyebut sesuatu tertentu. Misalnya, kata مَنْ (orang/barang siapa), مَا
(apa/apa saja), أَيْ
(mana saja), أَيْنَ
(dimana saja), مَا
(kata Tanya,apaa?), مَا
(Apapun kata syarat untuk jaza’/balasan).
Perhatikan contoh-contoh berikut:
·
من
دخل داري فهوآمن
(Barang siapa yang masuk rumahku, dia aman).
·
ماجاءني
به قبلته (apa yang ia berikan padaku, kuterima).
·
أين
تجلس أجلس
( DImanapun kau duduk, akupun duduk)
·
ماعندك؟ (Apa yang
kamu miliki?)
·
ماتفعل
تجزبه
(Apa yang kau perbuat. Kau akan dibalas karenanya)
4.
Kata khusus (Khash)
Kata khusus mempunyai kata khusus
diantaranya yaitu Lafal yang cakupannya hanya mengena pada sesuatu yang
terbatas. Yang dimaksud dengan ‘sesuatu terbatas’ ini adalah boleh sejumlah
satu, dua tiga atau lebih asalkan terbatas.
Misalnya: الطالبان
يدخلان الفصل (Kedua murid itu masuk kelas).
5. Hakekat (Makna Asli)
Yaitu kata yang di dalam penggunaannya
tetap menurut makna sebenarnya. Misalnya: Kambing gembong. Gembong
artinya pejantan. Termasuk bagian hakikat lughawi, kata yang dalam
percakapan sudah dipakai sebagai istilah. Misalnya, Ibu kota, artinya Kota
pusat. Hakekat ada tiga jenis, yaitu:
a) Hakikat Lughawi : kata yang penggunaannya secara bahasa tetap menurut
makna sebenarnya. Misalnya, Harimau untuk nama seekor binatang buas.
b) Hakikat Syar’I : kata yang dalam penggunaannya menurut syariat agama
tetap menurut makna sebenarnya. Misalnya, Shalat untuk nama ibadat tertentu,
dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam.
c) Hakikat ‘urf : yaitu kata yang secara adat/istilah menggunakan makna
yang sebenarnya. Misalnya: daabbah untuk nama binatang berkaki empat
menurut pengertian adat orang arab, meskipun menurut bahasa adalah segala yang
merayap/ berjalan di muka bumi. Contoh lain, fail untuk nama isim yang telah
maklum menurut istilah ahli nahwu.
6. Majaz (makna kiasan)
Majaz ialah kata yang dipakai diluar makna
aslinya. Misalnya, gembong-gembong ulama, kata gembong-gembong artinya
tokoh-tokoh. Prosedur perubahan kata hingga ia memiliki makna majaz, ada empat
cara yaitu:
a) Ziyadah (Menambahkan kata), misalnya dalam firman Allah:
لَيْسَ
كَمِثْلِهِي شَيْئٌ
“Tiada sesuatu yang seperti seperti Tuhan[6]”.
Kata seperti yang pertama adalah tambahan,
tidak perlu diartikan.
b) Nuqsha (mengurangi kata). misalnya dalam firman Allah:
وَسْئَلِ
القَرْيَةَ “Bertanyalah … kepada Desa”. [7]
Yang dimaksud adalah bertanya kepada
penduduk desa (أهل). Kata ‘Ahli’ disimpan, Tidak ditampakkan.
c) Naql(memindah arti), misalnya, lafal الغائط untuk nama kotoran yang keluar dari manusia.
Padahal, arti asalnya: tempat yang tentram/sunyi, sebab biasanya orang yang
buang air besar menuju kesana.
d) Isti’arah(meminjam kata untuk arti lain), misalnya dalam firman Allah
SWT:
جِدَارًايُرِيْدُ
اَنْ يَنقَضَّ “Sebuah dinding yang ingin
runtuh”.(QS. Al-KAhfi : 77)
Yang dimaksud dengan kata ‘ingin’ diatas
adalah hampir roboh. Kata ‘ingin’ semestinya untuk manusia hidup. Tetapi,
disini dipinjam untuk benda mati (dinding).[8]
Kesimpulan
Kata dan makna dalam pandangan Ushul Fiqh
1. Dalalah mantuk (sigen operatif)
a.
Nash
b.
Dhohir
c.
Muawwal
d.
Iqtida’.
e. Isyarat
2. Dilalah mafhum(sign concept)
a.
Mafhum muwafaqoh(konsep approval)
1.
Fahwal khitab(concept of the speech).
2. Lahnul kitab(lyrical speech).
b. Mafhum mukholafah
a. Mafhum sifat(dengan kata sifat).
b. Mafhum syarat(dengan huruf syarat)
c. Mafhum Ghayah(Dengan batas maksimal)
d. Mafhum Hashr(dengan pembatasan)
3. Kata Umum (‘Aam)
a.
Bentuk
Isim Mufrad(kata benda tunggal)
b.
Isim
Jama’(Plular) dengan artikel “AL”
c.
Isim
Mubhan
4.
Kata khusus (Khash)
5. Hakekat (Makna Asli)
1. Hakikat Lughawi.
2. Hakikat Syar’I.
3. Hakikat ‘urf.
6. Majaz (makna kiasan)
a) Ziyadah (Menambahkan kata).
b)
Nuqsha (mengurangi kata).
c)
Naql(memindah arti).
d)
Isti’arah(meminjam kata untuk arti lain).
Daftar Pustaka
Al-Farisi, M. Zaka, Pedoman Penerjemahan Arab Indonesia.
Bandung: Rosda. 2011.
Taufiqurrohman, R. Leksikologi
Bahasa Arab. Malang: UIN Malang Press. 2008.
[1] M. Zaka Al-Farisi, Pedoman Penerjemahan
Arab Indonesia( Bandung: Rosda).hlm. 98.
[2] QS. Al-Baqoroh ayat 96.
[3] QS. Al-Akh-Qof ayat 15.
[4] QS. Al-Isra’ ayat 23
[5] QS.
Al-Baqarah ayat 230.
[6] QS.
Asy-Syura ayat
11.
[7] QS. Yusuf ayat 83.
[8] Taufiqurrohman, Leksikologi Bahasa Arab(Malang: UIN Malang
Press. 2008). Hlm. 50-64.
No comments:
Post a Comment