Saturday, 28 September 2019

Kata dan Makna dalam Pandangan Ushul Fiqh



Kata dan makna dalam pandangan Ushul Fiqh

Pada dasarnya, makna suatu kata merupakan bagian dari pengetahuan seseorang dari makna. Lee mengemukakan bahwa manusia hidup dalam dua macam dunia yang tidak boleh dicampuradukan satu sama lain,  yaitu dunia kata dan dunia non kata. Dunia kata merupakan kempulan simbol yang mencerminkan reaksi dan respon manusia atas realitas itu sendiri.

Terdapat beberapa  teori yang disodorkan para pakar linguistik sekaitan dengan penanganan masalah makna kata. Pertama, teori referen yang diusung Russel. Teori ini menyebutkan bahwa sebuah kata memiliki makna lantaran rujukannnya pada objek atau keadaan yang digambarkan oleh kata tersebut. Dalam hal ini sebuah kata berupa objek atau keadaan yang direfer dari kata tersebut. Seperti kata pintu misalnya merefer pada benda yang terbuat dari kayu, besi, kaca, yang dipakai untuk keluar masuk dari suatu ruangan. Selain itu, tidak jarang pula sebuah kata mempunyai lebih dari satu referen.

Kedua teori ideasional yang dikemukakan oleh John Locke. Teori ini menyebutkan bahwa sebuah kata sesungguhnya tidak merever pada objek tertentu, tetapi pada ide atau konsep tentang objek tersebut. Dalam hal ini makna disertakan pada kata. Makna sendiri muncul dalam minda seseorang berupa gagasan. Ide bersifat laten. Ia baru lahir ketika manakala ditempelkan atau disertakan pada kata. Dengan teori ini, kita tetap akan menyebut kucing kendatipun hanya memiliki tiga kaki. Teori ideasional ini bukan berarti tanpa kelemahan, sebab dari waktu ke waktu makna suatu kata bisa mengalami perubahan. Selain itu, makna suatu kata juga sering kali bersifat personal dan sangat situasional.

Ketiga, teori fitur yang menyatakan bahwa konsep terwujud dari sejumlah unit yang kecil. Unit-unit yang kecil kemudian dinamakan fitur (ciri). Konsep singa umpamanya, terdiri dari sejumlah fitur, antara lain pemakan daging, berkaki empat, bertelinga dua, bermulut satu, berhidung satu, dan seterusnya. Teori ini juga masih menyisakan masalah. Persoalan muncul karena dunia ini tidak simplistis. Kenyataannya tidak jarang ada binatang yang kehilangan fitur tertentu karena kelaian genetis misalnya. Apakah kucing yang berkaki lima tidak bisa disebut kucing ?

Adapun menurut konstektualisme psikologis, konteks-konteks tertentu melahirkan keterkaitan antara fitur-fitur dari suatu konsep dan konsep-konsep lain dalam suatu kategori. Dalam permainan catur, misalnya, kita bisa mengganti sebuah pion dengan sebuah kancing. Kancing sendiri tidak mempunyai fitur dalam , tetapi dalam konteks tadi kancing jadi memilikinya.

Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa untuk memahami struktur konseptual diperlukan pemahaman lebih dari sekedar konsep semata. Diperlukan pemahaman lebih dari sekedar konsep semata. Dipengetahuan lain untuk memahami relasi antar konsep dan bagaimana konsep-konsep tersebut tertata sedemikian rupa. Dalam hal ini, senarai fitur tidak cukup merepresentasikan suatu konsep secara utuh.[1]

Teks Al-Qur’an dan As-Sunnah menggunakan bahasa Arab. Hukum diambil dari teks tersebut dapat dipahami secara benar jika memperhatikan tuntunan tata bahasa, cara pengambilan makna yang ditunjuk oleh kata atau susunan kalimat dalam bahasa arab. Demi kepentingan isntintaj al-ahkam (pengambilan hukum), ulama ushul fiqh sangat memperhatikan masalah kata dan maknanya. 


Dengan demikian menurut ulama’ ushul fiqh, ada beberapa cara yang ditempuh untuk memahami makna yaitu:
1.      Dalalah mantuk (sigen operatif)
Yaitu suatu yang ditunjukan oleh lafal pada saat diucapkan, yakni bahwa penunjukan makna berdasarkan materi huruf-huruf yang terucap. Dalalah mantuk di klasifikasikan sebagai berikut:
a)      Nash
Nash adalah lafal yang bentuknya sendiri, yang dapat menunjukan makna yang dimaksud secara tegas (sharih), tidak mengandung kemungkinan lain misalnya, firman Allah SWT:
Maka (wajib) berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari ketika kamu kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna.” [2]

Pernyataan kata ”sepuluh” dengan kata “sempuna” telah mematahkan kemungkinan “sepuluh” secara majas, inilah yang dimaksud dengan nash. Contoh lain : “aku melihat zaid” signifikasi disini kata zaid adalah zaid tidak mungkin selain zaid. 
b)      Dhohir
Dhohir yaitu lafal yang menunjukan suatu makna yang segera di fahami ketika diucapkan, tetapi disertai kemungkinan makna lain. Namun yang satu lebih signifikan dari makna lain. Misalnya, “aku melihat singa.” Signifikasi kata “singa” disini berarti “hewan buas” secara hakiki, namun bisa juga ada kemungkinan diartikan secara majasi, yaitu : “seorang pemberani seperti singa”. Hanya saja, signifikasi yang lebih jelas dari kata tersebut adalah makna hakiki (singa) dari pada makna majasi (pemberani). Makna “singa” (hakiki) yag dinilai lebih jelas ini dan terpilih ini disebut rajin, sedangkan makna “pemberani” (majasi) yang diabaikan karena kurang jelas dalam ucapan tersurat disebut “marjuh”.
c)      Muawwal
Muawwal yaitu makna yang justru diartikan dengan makna marjuh, karena tidak mungkin mengambil makna rajih. Jadi, makna majasi yang kurang jelas dalam ucapan, justru yang dipilih berdasarkan interpretasi (takwil) terhadap makna tersurat yang dhohir dalam ucapan. Misalnya, “langit dan bumi ditangan Allah”. Kata “tangan” disini, tidak bisa diartika secra khakiki (anggota tubuh) walaupun ini makna yang sifatnya rajih, sebab hal itu tidak logis diterapkan pada zad Allah. Kata “tangan” harus di takwil ke makna “kekuasaan”.
d)      Iqtida’
Yaitu keshohihan (faliditas) signifikasi sebuah lafal tergantung pada makna yang tidak disebutkan dalam teks. Inilah yang disebut dalalah iqtida’. Misalnya, dalm firman Allah SWT.
"فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيْضًا اَوْ عَلَى سَفَرِ فَعِدَّةٌ مِنْ اَيَّامِ أُخَرُ"
Maka  jika di antara kalian ada yag sakit dalam perjalanan maka ia wajib berpuasa atau mengqodho’ nya sebanyak hari-hari yang ditinggalkan pada hari-hari yang lain”.

Ayat ini memerlukan suatu lafal yang tidak disebutkan, yaitu: فأفطر (lalu ia berbuka puasa) yang diletakkan setelah kata سفر (perjalanan), sebab kewajiban qodho’ puasa bagi musafir hanya apabila ia berbuka dalam perjalanannya itu. Sedang jika ia tetap berpuasa, maka tidak ada baginya kewajiban qodho’ karena ia tidak membatalkannya. Penunjukan terhadap sesuatu yang tidak terdapat didala teks atau lafal yang terucap, tetapi ia sebenarnya lazim ada di dalamnya. Disebut I’tida’.
e)      Isyarat
Isyarat yaitu signifikasi sebuah lafal tergantung pada makna yang pada dasarnya tidak dimasukkan dalam teks. Misalnya, firman Allah SWT:
 حَمَلَتْهُ أَمُّهُ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُوْنَ شَهْرًا
kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan bersusah payah dan melahirkannya dengan susah payah pula”. Mengandungnya sampai menyapihnya adalah 30 bulan”.[3]

Ayat diatas, selain menjelaskan tentang susah payah seorang ibu pada saat hamil dan menyapih anaknya, sebenarnya mengisyaratkan sebuah makna atau pengertian, bahwa masa hamil seorang ibu adalah 6 bulan. Pengertian bisa dipahami dengan adanya ayat-ayat yang lain: (masa menyapihnya selama 2 tahun). Jadi, penyebutan 30 bulan sejak mengandung hingga menyapih, jika dikira-kira masa menyapih selama 2 tahun atau 24 bulan, maka kesimpulanya masa hamilnya saja minimal selama 6 bulan. Penunjukan lafal pada masa hamil minimal 6 bulan ini memang tidak terdapat pada kedua ayat di atas, tetapi makna itu bias dipahami melalui kalkulasi isyarat 2 ayat tersebut.


2.      Dilalah mafhum(sign concept)
Mafhum adalah makna yang di tunjukkan oleh makna, tidak berdasarkan pada bunyi ucapan(makna tersurat). Mafhum ada dua macam:
1)      Mafhum muwafaqoh(konsep approval) adalah makna yang hukumnya sesuai dengan mantuk(terucap). Mafhum ini dibedakan menjadi 2 bagian:
a)      Fahwal khitab(concept of the speech).
yaitu makan yang dipahami itu lebih utama di ambil hukumnya dari pada mantuknya. Misalnya: keharaman mencacimaki dan memukul orang tua yang dipahami dari firman allah SWT. Maka sekali-kali kamu jangan lah mengatakan keduanya perkataa “ah”.[4] Mantuk ayat ini adalah haramnya mengatakan “ah”, oleh sebab itu keharaman mencacimaki dan memukul lebih pantas di ambil karena keduanya dinilai lebih berat.
b)      Lahnul kitab(lyrical speech).
Yaitu apabila hukum mafhum sama nilainya dengan huku mantuk. Misalnya: firman Allah SWT” sesungguhnya orang-orang yang memaka harta anak yatim, sebenarnya mereka itu menelan api kedalam perutnya.(An-Nisa’ : 10).

Ayat ini menunjukkan pula keharaman merusak dan  membakar harta anak yatim atau menyia-nyiakannya. Petunjukan makna ini disebut lahnul khitab. Karena ia sama nilainya dengan memakannya sampai habis.
Kedua mafhum diatas termasuk mafhum muwafaqoh, karena makna yang tidak disebutkan (makna tersirat) sesuai dengan hukum yang di ucapkan(mantuk/makna tersurat). Meskipun hokum itu memiliki nilai tambah pada fahwal khitab  dan nilai sama pada lahnul khitab.

2)      Mafhum mukholafah
Yaitu makna yang berbeda hukumnya dengan mantuk(makna yg tersirat yang bersifat kebalikan). Mafhum ini dibedakan menjadi empat macam:
a)      Mafhum sifat(dengan kata sifat)
Misalnya, firman Allah SWT:” Hai orang-orang yang beriman, jika orang fasik membawa berita, maka periksalah denga teliti..”(QS. Al- Hujurat : 06). Mafhum mukhalafah atau makna kebalikan dari kata sifat’fasik’ pada ayat ini bahwa orang yang tidak fasik tidak wajib di teliti beritanya. Contoh lain firman Allah SWT. “ Maka deralah mereka(yang menuduh zina itu) delapan puluh kali dera..”(QS. An-Nur : 04). Mafhumnya ialah: mereka tidak boleh di dera kurang atau lebih dari delapan puluh kali.
b)      Mafhum syarat(dengan huruf syarat)
Misalnya, Firman Allah SWT.” Dan jika mereka(Istri-istri yang di talak) it sedang hamil, maka berikanlah mereka nafkahnya.(QS. Al-Thalaq : 06). Makna atau mafhumnya ialah istri yang di cerai tetapi tidak sedang hamil, tidak wajib di beri nafkah.
c)      Mafhum Ghayah(Dengan batas maksimal)
Misalnya, firman Allah,” kemudian jika suami mentalaknya(sesudah talak kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga kawin dengan suami yang lain…”.[5] Mafhumnya ialah, istri tersebut halal bagi suami pertama sesudah ia nikah dengan suami yang lain, dengan memenuhi syarat pernikahan.
d)     Mafhum Hashr(dengan pembatasan)
Misalnya firman Allah SWT:” Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya Engkaulah kami memohon pertolongan”(QS.Al-Fatihah : 05). Mafhumnya ialah bahwa selain Allah tidak disembah dan tidak dimintai pertolongan.

Manthuq dan mafhum, dalah kajian Ushul Fiqh di atas bertujuan menyikapi makna yang dilihat dari aspek penutur. Dalam memahami makna tersurat dan tersirat, kata/kalimat baik berupa ujaran atau teks bias mudah dipahami, dianalisis dan ditemukan maksud hokum yang dibawa oleh pesan ujaran/teks tersebut.
Sedangkan kata yang dilihat dari aspek cakupan makna yang dipergunakan oleh kata, dibedakan menjadi dua yaitu makna khusus dan makna umum.

3.      Kata Umum (‘Aam)
Yaitu kata yang cakupan maknanya bersifat umum, merata, tidak terbatas. Bentuk kata umum dalam  bahasa arab ada tiga macam, yaitu:
a.       Bentuk Isim Mufrad(kata benda tunggal)
Misalnya: Firman Allah SWT “Dia telah menciptakan manusia dari mani, kemudia ia menjadi pembantah yang nyata”.(QS. An-Nahl : 04).
Kata” manusia” ini bersifat umum, ia mengenai semua manusia, melainkan yang diperkecualikan.
b.      Isim Jama’(Plular) dengan artikel “AL”
Misalnya, firman Allah SWT ‘Bunuhlah orang-orang musyrik(Al-Musyikiin).(QS.Al-Taubah : 36). Bentuk jama’(Al-Musyikiin) dalam ayat ini bersifat umum dan meencakup semua orang yang berbuat syirik.
c.       Isim Mubhan
Yaitu isim-isim(kata benda) yang tidak menyebut sesuatu tertentu. Misalnya, kata مَنْ (orang/barang siapa), مَا (apa/apa saja), أَيْ (mana saja), أَيْنَ (dimana saja), مَا (kata Tanya,apaa?), مَا (Apapun kata syarat untuk jaza’/balasan).
Perhatikan contoh-contoh berikut:
·       من دخل داري فهوآمن  (Barang siapa yang masuk rumahku, dia aman).
·       ماجاءني به قبلته (apa yang ia berikan padaku, kuterima).
·       أين تجلس أجلس  ( DImanapun kau duduk, akupun duduk)
·       ماعندك؟  (Apa yang kamu miliki?)
·       ماتفعل تجزبه  (Apa yang kau perbuat. Kau akan dibalas karenanya)

4.      Kata khusus (Khash)
Kata khusus mempunyai kata khusus diantaranya yaitu Lafal yang cakupannya hanya mengena pada sesuatu yang terbatas. Yang dimaksud dengan ‘sesuatu terbatas’ ini adalah boleh sejumlah satu, dua tiga atau lebih asalkan terbatas.
Misalnya: الطالبان يدخلان الفصل (Kedua murid itu masuk kelas).


5.      Hakekat (Makna Asli)
Yaitu kata yang di dalam penggunaannya tetap menurut makna sebenarnya. Misalnya: Kambing gembong. Gembong artinya pejantan. Termasuk bagian hakikat lughawi, kata yang dalam percakapan sudah dipakai sebagai istilah. Misalnya, Ibu kota, artinya Kota pusat. Hakekat ada tiga jenis, yaitu:
a)      Hakikat Lughawi : kata yang penggunaannya secara bahasa tetap menurut makna sebenarnya. Misalnya, Harimau untuk nama seekor binatang buas.
b)      Hakikat Syar’I : kata yang dalam penggunaannya menurut syariat agama tetap menurut makna sebenarnya. Misalnya, Shalat untuk nama ibadat tertentu, dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam.
c)      Hakikat ‘urf : yaitu kata yang secara adat/istilah menggunakan makna yang sebenarnya. Misalnya: daabbah untuk nama binatang berkaki empat menurut pengertian adat orang arab, meskipun menurut bahasa adalah segala yang merayap/ berjalan di muka bumi. Contoh lain, fail untuk nama isim yang telah maklum menurut istilah ahli nahwu.

6.      Majaz (makna kiasan)
Majaz ialah kata yang dipakai diluar makna aslinya. Misalnya, gembong-gembong ulama, kata gembong-gembong artinya tokoh-tokoh. Prosedur perubahan kata hingga ia memiliki makna majaz, ada empat cara yaitu:
a)      Ziyadah (Menambahkan kata), misalnya dalam firman Allah:
لَيْسَ كَمِثْلِهِي شَيْئٌ  Tiada sesuatu yang seperti seperti Tuhan[6]”.
Kata seperti yang pertama adalah tambahan, tidak perlu diartikan.
b)      Nuqsha (mengurangi kata). misalnya dalam firman Allah:
وَسْئَلِ القَرْيَةَ “Bertanyalah … kepada Desa”. [7]
Yang dimaksud adalah bertanya kepada penduduk desa  (أهل). Kata ‘Ahli’ disimpan, Tidak ditampakkan.
c)      Naql(memindah arti), misalnya, lafal الغائط untuk nama kotoran yang keluar dari manusia. Padahal, arti asalnya: tempat yang tentram/sunyi, sebab biasanya orang yang buang air besar menuju kesana.
d)     Isti’arah(meminjam kata untuk arti lain), misalnya dalam firman Allah SWT:
جِدَارًايُرِيْدُ اَنْ يَنقَضَّ “Sebuah dinding yang ingin runtuh”.(QS. Al-KAhfi : 77)
Yang dimaksud dengan kata ‘ingin’ diatas adalah hampir roboh. Kata ‘ingin’ semestinya untuk manusia hidup. Tetapi, disini dipinjam untuk benda mati (dinding).[8]




Kesimpulan

                                  Kata dan makna dalam pandangan Ushul Fiqh
1.      Dalalah mantuk (sigen operatif)
a.      Nash
b.       Dhohir
c.       Muawwal
d.      Iqtida’.
e.       Isyarat
2.      Dilalah mafhum(sign concept)
a.      Mafhum muwafaqoh(konsep approval) 
1.      Fahwal khitab(concept of the speech).
2.      Lahnul kitab(lyrical speech).
b.      Mafhum mukholafah
a.     Mafhum sifat(dengan kata sifat).
b.     Mafhum syarat(dengan huruf syarat)
c.     Mafhum Ghayah(Dengan batas maksimal)
d.    Mafhum Hashr(dengan pembatasan)
3.      Kata Umum (‘Aam)
a.     Bentuk Isim Mufrad(kata benda tunggal)
b.    Isim Jama’(Plular) dengan artikel “AL”
c.     Isim Mubhan
4.      Kata khusus (Khash)
5.      Hakekat (Makna Asli)
1.      Hakikat Lughawi.
2.      Hakikat Syar’I.
3.      Hakikat ‘urf.

6.      Majaz (makna kiasan)
a)            Ziyadah (Menambahkan kata). 
b)                  Nuqsha (mengurangi kata).
c)                   Naql(memindah arti).
d)                  Isti’arah(meminjam kata untuk arti lain).



Daftar Pustaka

Al-Farisi, M. Zaka, Pedoman Penerjemahan Arab Indonesia. Bandung: Rosda. 2011.
Taufiqurrohman, R.  Leksikologi Bahasa Arab. Malang: UIN Malang Press. 2008.




[1]  M. Zaka Al-Farisi, Pedoman Penerjemahan Arab Indonesia( Bandung: Rosda).hlm. 98.
[2]  QS. Al-Baqoroh ayat 96.
[3]  QS. Al-Akh-Qof ayat  15.
[4]  QS. Al-Isra’ ayat 23
[5]  QS. Al-Baqarah ayat 230.
[6]  QS. Asy-Syura ayat 11.
[7]  QS. Yusuf ayat 83.
[8] Taufiqurrohman, Leksikologi Bahasa Arab(Malang: UIN Malang Press. 2008). Hlm. 50-64.

No comments:

Post a Comment

Pengertian Memori atau Ingatan - Psikologi Pendidikan