KONTEKS ADAT (SIYÂQ URFI)
DALAM AL-QURAN
A.
PENGERTIAN URF
Menurut bahasa, urf berarti
sesuatu yang dikenal. Menurut istilah ialah segala sesuatu yang telah dikenal
dan menjadi kebiasaan manusia baik berupa ucapan, perbuatan, atau tidak
melakukan sesuatu.[1]
B.
SIYÂQ URFI.
tbös%ur Îû £`ä3Ï?qãç/ wur Æô_§y9s? yly9s? Ïp¨Î=Îg»yfø9$# 4n<rW{$# ÇÌÌÈ
Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu
dan janganlah berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jjahiliyah yang dahulu....(Q.S Al-Ahzab: 33)
Ayat ini ditujukan kepada
istri-istri Rasulullah yang dikaitkan dengan tradisi zaman jahiliyah sebelum
datang Islam, yaitu seperti yang dikemukakan dalam tafsir Asy-Sya’rawi dan
Attabary, para hamba sahaya perempuan kerapkali sengaja keluar rumah dengan
penampilan tidak senonoh serta pakaian yang sangat minim, dengan maksud
membangkitkan berahi lawan jenis.
Dengan mengetahui tradisi seperti ini, pembaca
segera memahami bahwa kata ( n<rW{$# Ïp¨Î=Îg»yfø9$# ) tidak menunjukakan adanya beberapa periode
zaman jahiliyyah, melainkan satu zaman jahiliyyah yang dikenal dalam sejarah
sebelum datangnya Islam, dan dipahami pula bahwa ayat ini bukan bermaksud
menegor istri-istri nabi karena, misalnya, ada di antaranya yang berpenampilan
jahiliyyah itu, melainkan hanya semata-mata nasihat agar mereka tetap tinggal
di rumah, dan keluar rumah bila ada keperluan yang dibenarkan oleh syara’,
jangan meniru tradisi yang dilakukan para hamba sahaya pada zaman jahiliyyah
dahulu, sehinnga nasehat ini berlaku bagi semua kaum muslimat di manapun.[2]
$tBur tb%x. öNåkèEx|¹ yYÏã ÏMøt7ø9$# wÎ) [ä!%x6ãB ZptÏóÁs?ur 4 (#qè%räsù z>#xyèø9$# $yJÎ/ óOçFZä. crãàÿõ3s? ÇÌÎÈ
sembahyang
mereka di sekitar Baitullah itu, lain tidak hanyalah siulan dan tepukan tangan.
Maka rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu. (Q.S Al-Anfaal: 35)
Ayat ini pun mengisyaratkan salah
satu adat kebiasaan pada zaman jahiliyyah, sebagaimana diriwayatkan oleh
Al-Qurthubi dari Ibnu ‘Abbas bahwa orang-orang Quraisy dahulu suka thawaf
mengelilingi Ka’bah dengan telanjang, sambil bertepuk tangan dan bersiul.
Mereka anggap ini merupakan bagian dari ibadah. [3]
Kemudian dalam suatu riwayat
dikemukakan bahwa sebelum Islam, apabila kaum Quraisy tawaf di Baitullah,
mereka suka bertepuk tangan dan bersiul. Maka turunlah ayat ini sebagai ancaman
terhadap perbuatan seperti itu. (Diriwayatkan oleh al-Wahidi yang bersumber
dari Ibnu Umar).
Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa kaum Quraisy mengganggu Nabi saw
yang sedang tawaf dengan bertepuk tangan dan bersiul. Maka turunlah ayat ini
sebagai ancaman kepada orang-orang yang suka mengganggu kaum muslimin yang
sedang beribadat.(diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari Sa’id).[4]
#sÎ*sù z`øón=t/ £`ßgn=y_r& £`èdqä3Å¡øBr'sù >$rã÷èyJÎ/ ÷rr& £`èdqè%Í$sù 7$rã÷èyJÎ/ (#rßÍkôr&ur ôurs 5Aôtã óOä3ZÏiB (#qßJÏ%r&ur noy»yg¤±9$# ¬!
4 öNà6Ï9ºs àátãqã ¾ÏmÎ/ `tB tb%x. ÚÆÏB÷sã «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# 4 `tBur È,Gt ©!$# @yèøgs ¼ã&©! %[`tøxC ÇËÈ
apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah
mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah
dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan
kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang
beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barangsiapa bertakwa kepada Allah
niscaya Dia akan Mengadakan baginya jalan keluar. (Q.S At-Tholaq: 2).
Dalam ayat ini Allah menegaskan
persyaratan saksi adalah orang yang memiliki sifat adil. Secara istinbathi ayat
tersebut sudah jelas dan tidak menimbulkan masalah. Orang yang adil adalah
orang yang padanya melekat sifat taqwa dan muru’ah. Orang yang tidak memiliki
ketaqwaan dan tidak menjaga muru’ah bukanlah orang yang adil.
Namun, dalam penerapannya, ukuran
orang yang menjaga muru’ah itu berbeda-beda sesuai perbedaan waktu dan tempat.
Tidak menutup kemungkinan misalnya di satu tempat dipandang menghilangkan
muru’ah, tetapi di tempat yang lain tidak.
n?tãur Ïqä9öqpRùQ$# ¼ã&s! £`ßgè%øÍ £`åkèEuqó¡Ï.ur Å$rã÷èpRùQ$$Î/ 4 w
ß#¯=s3è? ë§øÿtR wÎ) $ygyèóãr 4 w
§!$Òè? 8ot$Î!ºur $ydÏ$s!uqÎ/ wur ×qä9öqtB ¼çm©9 ¾ÍnÏ$s!uqÎ/ 4 n?tãur Ï^Í#uqø9$# ã@÷VÏB y7Ï9ºs ………….3 ÇËÌÌÈ
Dan kewajiban ayah memberi Makan dan
pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan
menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan
karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban
demikian. (Q.S Al-Baqarah: 233)
Ayat ini menjelaskan tentang
kewajiban suami memberi nafkah istri secara ma’ruf. Ukuran ma’ruf disini
berbeda-beda sesuai kemampuan suami, sebab tidak ada nash yang menjelaskan
berapa kadar nafkah yang ma’ruf (baik) itu.
Segala sesuatu yang diwajibkan oleh
Allah, dan Allah tidak menjelaskan kadarnya, maka ukurannya dikembalikan kepada
urf, seperti ukuran besarnya mahar, upah bagi buruh atau pembantu rumah tangga
di suatu tempat dan lain-lain.[5]
Éè{ uqøÿyèø9$# óßDù&ur Å$óãèø9$$Î/ óÚÌôãr&ur Ç`tã úüÎ=Îg»pgø:$# ÇÊÒÒÈ
jadilah Engkau Pema'af
dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada
orang-orang yang bodoh.(Al-A’raf: 199).
Oleh Ulama ushul fiqh Kata al-urf dipahami sebagai sesuatu yang baik dan
telah menjadi kebiasaan masyarakat. Berdasarkan itu maka ayat tersebut dipahami
sebagai perintah untuk mengerjakan sesuatu yang telah dianggap baik sehingga
telah menjadi tradisi dalam suatu masyarakat.[6]
DAFTAR PUSTAKA
Suwarjin. Ushul Fiqh. Yogyakarta: TERAS. 2012
Shaleh, Q &
Dahlan, A dkk. Asbabun Nuzul latar belakang historis turunnya ayat-ayat
Al-qur’an. Bandung: CV Penerbit Diponegoro. 2000.
Tricahyo, Agus. Materi Balaghah 1. Ponorogo: STAIN PO PRESS. 2016.
[1]
Suwarjin, Ushul Fiqh (Yogyakarta:
Teras, 2012), hal.148.
[2]
Agus Tricahyo, Materi
Balaghah 1 (Ponorogo: STAIN PO PRESS, 2016), hal. 36.
[3]
Suwarjin, Ushul Fiqh (Yogyakarta:
Teras, 2012), hal. 151.
[4]
Q. Shaleh, A. Dahlan dkk, Asbabun
Nuzul latar belakang historis turunnya ayat-ayat Al-qur’an ( Bandung: CV
Penerbit Diponegoro, 2000), hal. 244.
[5]
Ibid., 151.
No comments:
Post a Comment